Seni budaya Reog
Ponorogo dan asal-usulnya sesungguhnya memiliki banyak versi. Hal ini
sebenarnya lebih disebabkan karena terjadinya percampuran fakta sejarah
yang sebenarnya, yang mengangkat tema politik, kekuasaan dan termasuk
intrik di dalamnya, bercampur dengan cerita-cerita rakyat yang memang
dijadikan sebagai bentuk media komunikasi dalam kisah sejarah tersebut.
Media Budaya kali ini akan mencoba menggali lebih jauh mengenai Reog
sebagai referensi budaya kita.
Seni tradisional
Reog bisa jadi diasumsikan sebagai 'reyog' dan direpetisikan menjadi
'reyag-reyog', yang dalam bahasa Jawa bisa berarti sesuatu yang berayun
dan bergerak bergantian ke setiap sisi. Hal ini dapat terlihat di
gerbang masuk kota Ponorogo, yang dianggap sebagai kota asal Reog. Pada
gerbang tersebut terlihat warog dan gemblak, dua sosok utama pada Reog.
Hubungan kata ‘rèyog’ dengan Reog Ponorogo, terletak pada gerakan barongan ‘Dhadhak Mêrak’ ketika dimainkan. ‘Dhadhak Mêrak’ berupa kepala macan di bawah seekor burung merak yang sedang mengembangkan keindahan ekornya. Wujud ‘Dhadhak Mêrak’ ketika dimainkan memang sangat atraktif, dengan gerakan yang gesit dan lincah menyambar-nyambar. Nah, dari gerakan ‘Dhadhak Mêrak’ yang meliuk dan menyambar ke sana ke mari itulah kemungkinan nama Reog Ponorogo bermula.
Versi-versi awal
sejarah Reog sangat erat kaitannya dengan keberadaan Kerajaan Majapahit
menjelang keruntuhannya, awal penyebaran agama Islam, dan pola
pendekatan penyebaran tersebut dengan media seni dan tradisi, dan
persepsi bahwa ada tokoh dalam kisah tersebut yang berupaya membelokkan
keadaan sebenarnya dalam rangka niatan mempertahankan nilai-nilai yang
terkandung dalam media seni budaya yang dimaksud.
Ki Ageng Kutu, Kerajaan Majapahit dan Permaisuri dari Cina
Pada masa
pemerintahan Sang Phrabu Kerthabumi atau Raja Brawijaya V di Kerajaan
Majapahit menjelang runtuhnya, diangkatlah seorang sastrawan hebat yang
berasal dari Bali bernama Kutu, dan diberi gelar Pujangga Anom (dalam
bahasa Jawa kuna kata pujangga sering dilafalkan dengan dengan bujangga). Beliau dianugerahkan perdikan
(wilayah bebas pajak) bernama Wengker (sekarang Ponorogo) dan diberi
gelar Ki Gedhe Surya Bhuwana atau Ki Ageng Surya Ngalam. Ki Ageng
memutuskan menetap di perdikan Wengker dan tidak akan ke Trowulan
(ibukota), sebab sudah kesal sang Raja tidak menjaga wibawanya di depan
rakyat oleh karena terlalu menuruti semua kehendak sang istri, bahkan
untuk semua keputusan menyangkut kerajaan. Semua upayanya menyadarkan
sang raja melalui bingkisan seni dan sastra yang dikirimkan ke Trowulan
tidak pernah diindahkan, dan menyimpulkan masa depan kerajaan di ambang
keruntuhan.
Salah satu cara
untuk memperkuat keputusannya untuk menyindir sang raja dan masa depan
kerajaan adalah dengan membuat perangkat atau media seni berupa kepala
macan dan seekor merak di atas kepalanya ( yang dahulu dinamakan Singa
Barong). Media ini dipertontonkan kepada masyarakat kala itu (sekitar
tahun 900 Saka, masyarakat masih menganut Hindu Siwa), yang mencerminkan
kebodohan dan kelemahan sang raja yang disimbolkan dengan topeng macan,
berada dalam kedudukan di bawah merak (di atas kepala macan)
menganalogikan sang istri yang terlalu dominan.
Ki Ageng Kutu, Adipati Bathara Kathong, dan Kiyai Mirah
Setelah tiga
tahun Sang Phrabu marah karena Ki Ageng Kutu atau Ki Gede Surya Bhuwana
atau Ki Ageng Surya Ngalam tidak pernah datang mengikuti upara di
Trowulan, dan menganggap Sang Pujangga Anom telah makar karena mangkir
kali dari upacara kerajaan. Sang Raja memerintahkan anaknya dari selir
Putri Begelen bernama Raden Talijiwa. Raden Talijiwa menganggap kekuatan
Wengker tidak seberapa sehingga hanya mengajak kekuatan kecil saja.
Ternyata perkiraan itu salah, pasukan mereka hancur menghadapi kekuatan
masyarakt Wengker yang ternyata telah dimobilisasi dengan kekuatan
kanuragan dari Ki Ageng Pati yang diajarkan serta hubungan baik dengan
warok sakti di situ.
Beruntung Raden
Talijiwa yang kalah oleh keris sakti Ki Ageng Kutu tidak dibunuh karena
dianggap sudah mati. Ternyata pada saat kondisi terluka, Raden Talijiwa
dirawat oleh putri Ki Ageng Kutu. Putri Ki Ageng Kutu rupanya tertarik
akan ketampanan sang Raden, dan selama masa penyembuhan sang Raden juga
mengalami hal yang sama. Setelah merasa sudah sembuh, Raden Talijiwa
pamit untuk bersemedi di telaga Ngebel. Dalam semedinya beliau mendapat
wangsit bahwa akan ada orang yang akan membantunya menjadi penguasa
semulia dewa (dalam bahasa setempat saat itu disebut dengan bathara kathong) di wilayah Wengker.
Raden Talijiwa
terkejut karena sudah ada orang yang menunggu dirinya di telaga, bernama
Kiyai Mirah (sebelumnya dikisahkan bahwa Kiyai Mirah diperintahkan oleh
gurunya Kanjeng Sunan Kalijaga untuk mengajarkan Islam kepada seseorang
yang telah dipersiapkan oleh Sang Kuasa dan orang ini akan berperan
besar menyebarkan Islam di Tanah Jawa, dialah Raden Talajiwa). Saat itu
Kiyai Mirah menyatakan sanggup membantu Raden Talijiwa menjalankan titah
Sang Phrabu untuk mengalahkan Wengker. Saat itu pula Raden Talijiwa
tertarik dengan agama Islam dan menyatakan masuk Islam.
Salah satu upaya
yang disarankan oleh Kiyai Mirah untuk mengalahkan Ki Ageng Kutu adalah
dengan menyuruh putrinya mengambil keris pusaka ayahnya, dan mengajaknya
menikah di kerajaan. Upaya itu disanggupi karena keduanya memiliki rasa
suka. Pada akhirnya Ki Ageng Kutu menyerah melihat kenyataan bahwa
keris pusakanya telah berpindah tangan dan bahwa putrinya telah dinikahi
sang Raden (tidak diketahui secara pasti nasib Ki Ageng Kutu setelah
menyerah, sebagian menyatakan dia pulang ke Bali, adapula yang
menyatakan dia bunuh diri atau dihukum kerajaan).
Atas
keberhasilannya, Raden Talijiwa dianugerahi perdikan Wengker sebagai
wilayahnya oleh Sang Phrabu dan bergelar Kanjeng Adipati Bathara
Kathong. Beliau lalu membangun kadipaten baru bernama Ponorogo,
sedangkan perdiken Wengker yang lama diberikan kepada Kiyai Mirah dan
diberi gelar Ki Ageng Mirah.
Kiyai Mirah, Pangeran Panji Kelana Sewandana dan Prabu Singabarong
Kiyai Mirah atau
Ki Ageng Mirah yang tertarik dengan media seni dan tradisi budaya Singa
Barong yang telah menjadi kebudayaan setempat saat Ki Ageng Kutu atau Ki
Gedhe Surya Bhuwana atau Ki Ageng Surya Ngalam menciptakan tontonan
tersebut untuk mengkritik Prabu Kertabhumi, dan berinisiatif untuk
melestarikannya sekaligus menjadikan sebagai media penyebaran agama
Islam.
Beliau kemudian
menciptakan sebuah hikayat atau cerita baru dengan tokoh Panji dengan
memasukkan unsur-unsur Islam di dalamnya. Dalam kisah tersebut
diceritakan seorang putri cantik yang mau menikah bila ada yang berhasil
membawa hewan berkepala dua. Tersebut pula seorang raja bernama Prabu
Singabarong dari Kediri bertemu dengan rombongan prajurit yang dipimpin
oleh Pangeran Panji Kelana Sewandana. Kedua tokoh ini ternyata sama-sama
ingin meminang sang putri, lalu bertempur. Ternyata Prabu Singabarong
bertiwikromo menjadi siluman sakti seperti macan dan luwes seperti
merak. Sang Pangeran lalu menggunakan cemeti saktinya. Prabu Singabarong
bersama prajurit dan punakawannya bernama Ki Bujangganong akhirnya
kalah, dan Pangeran Panji memenangkan sayembara tersebut.
Dari versi di
atas bisa dilihat seperti sebuah trilogi, saling berurutan dan terdapat
inti pada tiap fasenya. Kisah tersebut menjadi struktur sekaligus topik
yang ditampilkan ketika seni Reog mentas baik saat ada acara kawinan,
pesta besar dan festival budaya. Dan ternyata, Reog Ponorogo tidak hanya
terkenal di daerah asalnya, tapi juga di luar daerah banyak kelompok
seni fokus pada Reog Ponorogo. Sebagai seni budaya peninggalan sejarah,
Reog Ponorogo seperti halnya Sejarah Seni Wayang Golek Sebagai Bagian Budaya Indonesia
tetaplah harus dipertahankan dan dilestarikan, karena ini membuktikan
bahwa Indonesia kaya akan peninggalan sejarah dan budaya sebagai bukti
eksistensi bahwa nenek moyang Indonesia benar adanya.
0 komentar:
Posting Komentar
Komentar Spam / Link aktif tidak akan muncul di kotak komentar.